Visitor

Kamis, 17 Januari 2013

Tiga Tahun Wafatnya Gus Dur; Kesaksian Seorang Santri



Sejak dulu kami sudah mendambakan nyantri di pesantren dirian Hadratus Syaikh KH Muhamamd Hasyim Asy’ari ini. Kemasyhurannya tidak terbantahkan bahan sempat sebagai markas utama kemerdekaan RI. Alhamdulillah, tuhan mengabulkan niatan itu. Kami menempuh pendidikan Aliyah dan kuliah di Pesantren Tebuireng hingga kini.

Tak hanya masjid, asrama, di pesantren ini juga terdapat kompleks pemakaman kelurga besar Tebuireng. Kiai Hasyim, putra & menantu. Yang membanggakan lagi, pesantren ini menyimpan buku-buku tokoh tersebut. Kami bersentuhan langsung dgn kitab-kitab KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat kuliah di Baghdad.

Sejak itulah, kami semakin takjub dengan sosok Gus Dur. Ternyata tidak hanya memimpin bangsa adil, jenius, melainkan intelektual muslim besar. Buku-buku Gus Dur lebih banyak berbahasa Arab, bertemakan kesusastraan, antologi puisi pra Islam, filsafat dan lainnya. Kami baca perlahan meski kesulitan.  Kami juga menemukan berkas-berkas alm Gus Dur saat menjabat sebagai sekretaris pesantren (1985). Makalah seminar, jadwal kuliah, note book pribadi. Sampai suatu saat kami berangan-angan seandainya Gus Dur masih dsini, pasti kami bisa mengaji ilmu kepadanya.

Namun kami paham Gus Dur tidak hanya milik pesantren, keluarga dan Jombang, tapi melainkan Gus Dur milik umat & rakyat yang kehadirannya selalu dibutuhkan diamana-mana. Sesekali Gus Dur mengunjungi pesantren ini untuk silaturrahim dan  berziarah ke para leluhur. Terakhir seminggu sebelum beliau wafat. Kesempatan yang luar biasa sekali kami ikut dalam tahlil malam itu, didampingi Gus Sholah, Nyai Farida dan para asatidz.

Seminggu kemudian, kami menerima kabar yang sangat menyedihkan. Bahwa Gus Dur  wafat. Saat itu kami sedang belajar di bangku Diniyah maghrib. Para asatidz keluar kelas. Dan masjid pesantren bergema melantunkan surat Al-Ikhlas. Kami tak mengira malam itu adalah malam terakhir kami bersama Gus Dur ketika tahlil bersama di makam Pesantren Tebuireng dan Madrasatul Quran pukul 01.00 dini hari.

Esoknya pesantren kami ramai dengan ribuan tamu tak dikenal. Ada wartawan, polisi, para tamu berbusana militer, tokoh lintas agama, menteri, dan lainnya. Bahkan santri-santri yang berada di dalam pesantren diminta untuk keluar area pesantren demi keamanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hendak memimpin jalannya upacara pemakaman.

Kami sebagai santri plus wartawan cilik pesantren menemui tokoh-tokoh besar yang hadir hari itu. Kami wawancara mereka sebagai testimoni. Masjid terus mengumandangkan surat al-Ikhlas. Langit yang semula cerah berubah mendung menyambut jenazah Gus Dur. Kami bergetar. Di pusara makam, ada sosok Mbah Liem (alm) yang cukup aneh; beliau mengitari makam sambil berbicara sendiri. Entah apa maksudnya, penuh misteri. Jasnya diberikan kepada seorang santri yang kini ia sukses di karir akademiknya di luar Jawa.

Kira-kira menjelang dhuhur, jenazah almarhum Gus Dur datang, setelah dishalati di Masjid pondok putri. Kondisi semakin riuh dgn isak tangis. KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus) berbaju hitam tampak betul-betul sedih sahabat sejatinya wafat. Beliau berlari-lari kecil, tak hirau batu, meski sandal hilang.  

Kala itu saya diberi ID Card sebagai panitia oleh pengurus pondok. Tetapi bingung apa tugas saya? Akhirnya saya hanya mondar mandir tidak pasti. Barulah ketika Presiden RI datang di lokasi, seorang polisi menarik tangan saya. "Mas, ayo bantu!" Saya ikut & digiringnya d tengah lautan manusia yang penuh sesak. Tidak saya sangka, polisi itu menempati saya di belakang Presiden, pas! Hingga telepon genggam saya berdering tidak henti-henti, karena sorotan kamera TV mengintai wajah saya.

Sambil merangkap tugas "pagar polisi" saya keluarkan alat perekam dan kamera untuk mengabadikan moment sejarah dunia ini. Semua pidato berhasil saya rekam, jasad alm. Gus Dur juga terbidik jelas saat dikebumikan. Meski saat itu saya masih gemetar sedih luar biasa. Airmata semakin deras ketika Gus Sholah memberi kata sambutan atas nama keluarga "Selamat jalan kakakku, pemimpinku, kami akan terus berjuang, semoga Allah memberi kita kekuatan."

Saya mengangkat kepala ke langit, saya yakin Tuhan juga menangis. Langit pun mulai gerimis kecil; kemarin, kini dan esok. Kejadian luar biasa itu tidak pernah kami lupakan. Ya, dimana semua manusia, alam, bahkan Tuhan menangis atas kepergiannya.

Hari inilah (31 Desember) dimana tokoh besar dunia, guru bangsa, bapak pluralisme, Presiden RI dikebumikan di Tebuireng. Keesokan harinya, kami diperintah untuk mencatat kiriman bunga (ucapan duka) yang ada di depan pesantren, 90 lebih dari berbagai kota. Maka selama tujuh hari kemudian, pesantren kami semakin banyak kedatangan tamu. Berkah! Ya, mereka mendoakan, Tuhan mengabulkan & berkah bersemayam.

Persiapan tujuh hari, kami diamanati untuk mengantar undangan ke banyak tokoh, diantaranya Kiai Maimoen Zubair di Sarang Rembang. Beliau bercerita bahwa Kiai Hasyim adalah sosok luar biasa yang tak tertandingi. Keluarga dan santrinya selalu memikirkan untuk sesama. Tak hanya berjuang untuk keluarganya, tetapi untuk agamanya, bangsanya dan semuanya. Itu sebabnya Pesantrennya berkah sepanjang masa.

Kami juga menemui alm. Kiai Abdullah Faqih di Pesantren Langitan, beliau dawuh "Saya bersama & iftiraq dengan Gus Dur hanya karena Allah taa'la." Selama tujuh hari itu bacaan Yasin & Tahlil terus berkumandang tiap malam. Banyak peziarah yang unik, mengambil tanah makam Gus Dur untuk kepentingan obat. Dan betul-betul mujarab terbukti sembuh, sehingga ditiru oleh peziarah-peziarah lain. Bahkan media/koran meliputnya. Akibatnya tanah makam berkurang.

Kondisi jalan raya depan pesantren kian ramai, terganggu memang tetapi bagi masyarakat yang pandai, menjadikan halaman rumah sebagai parkir. Mahasiswa di sini semakin rajin menulis, karena buku-buku tentang Gus Dur kala itu (dan kini) laku keras di pasaran baik tema keilmuan, humor, politik, sejarah atau biografi. Kala itu Majalah Tebuireng menerbitkan edisi khusus Gus Dur dan laku 6000 eksemplar padahal biasanya hanya cetak 2500 eks per-edisi dwi wulan.

Masyarakat lain yang masih belum memiliki pekerjaan, berdagang CD, kaos, poster, stiker, kalender Gus Dur meraup keuntungan besar. Warung-warung yang tadinya sepi bahkan gulung tikar, kini mulai digelar kembali. Produk dan pelanggan semakin tambah banyak. Alhasil, Gus Dur adalah sosok hamba Allah yang benar-benar dirahmati Allah; memberkahi lingkungan sekitarnya, baik kala hidup maupun setelah tiada. Kini tinggal bagaimana kita meniru beliau. Gus Dur; generasi ulama salaf dahulukan urusan rakyat.

Dari Gus Dur kami tahu bahwa manusia itu harus hidup humanis, rukun, saling kasih sayang kepada siapa saja. Karena rahmat tuhan pun tidak pilih-pilih. Terimakasih untuk semuanya, terutama keluarga alm. Gus Dur yang telah mengenalkan kita denganya; Alissa Wahid, Yenny Wahid, Anita Wahid, dan Nay wahid. Juga guru-guru kami, Gus Sholah, Gus Mus  Gus Nizam dan sahabat GUSDURians, khususnya Mas Nuruddin Hidayat. Semoga Tuhan memberkahi Gus Dur dan kita mampu meniru jejaknya; humanis, cinta damai, tulus, sabar-tegas, tidak dendam, cerdas, ideal. Amin.



* Penulis adalah santri Pesantren Tebuireng, Jombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar